Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Redaktur Eksekutif : Putu Sugih Arta
Redaktur Ekspert : Kiki Sulistyo
Kontributor Artistik : Zaeni Muhammad, Mahendra
Dicetak oleh : Sanggar Sastragrha NTB
Email :
Webs :
www.majalahsastragrhantb.blogspot.com
Alamat Redaksi :
FOrum NGoBrol Warung Kopi JAck
Parkir Luar ( Timur )
Jalan Majapahit Mataram NTB
( Terbitan terbatas untuk bahan apresiasi di kalangan seniman)
Vonis
Cerpen R. Eko Wahono
“Saudara yakin telah membunuhnya?” suara Hakim pada persidangan lanjutan.
Lelaki setengah baya itu menarik nafas dalam-dalam, seolah hendak menghisap semua yang hadir di ruangan sidang.
“Sekali lagi, apakah Saudara yakin telah membunuh istri anda?”
Suasana hening.
Beberapa menit kemudian terdengar suaranya yang parau serta berlendir mengatakan sesuatu yang ditunggu-tunggu.
“Ya”
Spontan suara gaduh menyeruak di dalam ruangan sidang. Palu hakim berkali-kali mematuk-matuk mencoba menenangkan suasana.
“Katakan sekali lagi dengan suara yang lebih jelas, tuan Kodir.”
“Sudah saya katakan tadi. Ya. Bahkan bukan hanya sekali ini saja bapak Hakim”
“Berapa kali?”
“Ratusan kali.”
Kembali suasana gaduh. Palu itu kembali menghentak meja Hakim berkali-kali.
“Jika ada yang ribut saya harap berada di luar saja. Hargai suasana persidangan. Ini bukan pasar. Mengerti!”
suasana kembali tenang. Beberapa petugas berjaga-jaga di sekitar pengunjung yang hadir.
“Ratusan kali, tuan Kodir?” tanya Pak Hakim mengulang.
“Iya. Kenapa bapak Hakim. Apa ada yang aneh? Saya membunuhnya berulangkali. Saya membenamkan belati ke perut dan dadanya dengan perasaan yang sulit untuk dilukiskan. Senang. Sedih. Semuanya campur aduk. Seperti permen nano-nano, gitu pak Hakim. Namun, setelah itu ia hidup kembali dan menyiapkan sarapan saya di pagi hari.” Hakim itu manggut-manggut.
Kipas angin di dalam ruang sidang berputar sejak pagi tadi namun udara siang terlalu perkasa untuk dikalahkan. Orang-orang sibuk mencari sesuatu untuk dijadikan kipas. Beberapa orang meninggalkan kursinya untuk sekedar mencari angin di luar. Tapi kursi kosong itu kembali terisi orang-orang yang sejak tadi berdiri di luar ruang sidang. Suasana kembali tenang bahkan kita pun dapat mendengar suara putusan hakim dari ruang sidang yang lain.
“Apa ada alasan lain sehingga anda tega berbuat keji terhadap istri anda sendiri?” tanya hakim.
“Tak ada. Saya tak punya alasan lain selain yang sudah saya sebutkan.”
“Dengan apa anda membunuh istri anda.”
“Tentu saja dengan benda tajam, Bapak Hakim. Masak pakai pisang.”
“Maksud saya, apa misalnya?”
“
“Apa yang dikatakan hati istri anda kepada anda, saudara Kodir?”
“Ia sangat mencintai saya. Lalu saya letakkan hati itu kembali ke tempatnya.”
Matahari seakan tertancap di batang penangkal petir di atas gedung pengadilan. Orang-orang di dalam ruang sidang menahan napas sejenak. Lalu suasana gaduh kembali. Mereka tak percaya sama sekali jika Kodir telah membunuh istrinya. Tetapi lelaki itu yang bernama Kodir, yang tak lain adalah saya sendiri memang telah membunuh istrinya. Saya yakin ini adalah sekumpulan fragmen-fragmen hidup yang sulit untuk dilampaui.
“Jadi, sampeyan berkesimpulan benar-benar telah membunuhnya.”
Hakim penasaran.
“Apa saya kurang jelas mengatakannya, bapak Hakim. Saya kira saya sudah mengurainya cukup jelas dan terperinci. Dan saya sangat yakin sebuah tindakan yang terpuji lahir dari pemikiran yang tidak saja cerdas melainkan tegas serta lugas.”
“Terpuji? Bagaimana anda bisa mengatakan terpuji jika tindakan anda menyimpang dari kaca mata hukum, etika serta norma hidup.”
“Bapak Hakim bicara soal norma hidup?”
“Ya.”
“Saya tak yakin di jaman sekarang orang masih memegang secara teguh norma-norma kehidupan. Karena semua orang punya naluri biadab seperti halnya saya.”
“Misalnya, apa itu?”
kejar Hakim.
“Menyakiti diri sendiri. Membunuh orang.”
“Membunuh?”
“Iya. Kenapa dari tadi bapak Hakim terheran-heran. Seolah-olah seisi dunia harus dipatok aturan-aturan yang membuat orang berpikir seragam. Jika kepatutan itu sudah diluar wewenang atau keterbatasan saya sebagai manusia maka saya berhak untuk merubah bentuk atau wujudnya. Saya tak lagi peduli hukum dan apakah kepatutan itu layak atau tak layak bagi saya.”
“Dengan dalih apa pun semua yang anda lakukan tetap memberatkan. Apakah anda orang beragama?”
“Tuhan, maksud bapak Hakim?”
“Kurang lebih seperti itu.”
“Oh, jadi di ruangan ini masih ada Tuhan? Ck.. ck.. ck.. Jadi selama ini saya salah menilai.”
“Tentang apa, Tuan Kodir?”
“Saya kira di ruangan sidang Tuhan tidak ada Tuhan.
“Jangan main-main sampeyan.”
“Lho, saya sedang tidak main-main. Dari tadi saya serius. Sangat serius. Bagaimana bapak Hakim ini. Apa yang telah Tuhan lakukan terhadap saya dan istri saya? Siapa yang lebih berkuasa atas peristiwa itu. Saya atau Tuhan? Jika apa yang saya lakukan merupakan hal terburuk maka Tuhan akan menghentikan seluruh niat atau segala tindakan brutal tersebut. Tapi, lihatlah semuanya sudah terjadi dan Tuhan membiarkan seluruh peristiwa itu berjalan sesuai apa yang saya rencanakan. Jika Tuhan lebih berkuasa maka ia akan membetot tubuh saya dan menghentikan apa yang bukan menjadi tugas saya. Jika tidak maka tangan saya akan terus merajam tubuh istri saya hingga cacat agar semua orang muntah melihat wajahnya. Saya terobsesi akan hal yang sangat perfeksionis, bapak Hakim. Terkadang tuntutan ini agak sedikit rewel dan terkesan sangat idealis. Tapi saya harus mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan. Apa yang saya lakukan tak ada hubungannya dengan kerja keras atau tindakan mencari sensasi. Citranya sebagai seorang perempuan cantik tak harus membuat dirinya jadi seragam. Ini hanya persoalan merubah pola pikir tradisionil ke wilayah yang lebih progresif. Tak ada yang dapat menghentikan kecuali suatu tindakan yang keras atau ekstrim. Lalu dimana Tuhan saat peristiwa itu berlangsung. Sangat disayangkan jika semua urusan ini pada akhirnya harus saya tuntaskan. Saya tak bisa menunggu terlalu lama untuk sebuah perubahan.”
“Tapi anda bukan Tuhan.”
“Tentu saja saya tahu itu, bapak Hakim. Pikiran dan tubuh saya hanya merefleksikan apa yang diinginkan Tuhan. Apa sebenarnya yang diinginkan Tuhan di dalam hidup yang fana ini? Mungkin Bapak Hakim dapat menjawabnya.”
“Jangan main-main di dalam persidangan, Saudara Kodir.”
“Saya tidak sedang main-main Bapak Hakim. Bukankah saya telah membunuh istri saya. Ia mati untuk satu urusan yang serius. Ini bukan perkara main-main. Ia telah membantu saya memecahkan seluruh teka-teki dan rahasia hidup yang dipenuhi sikap pura-pura. Semua mata di seluruh dunia membaca dengan jelas bahwa tak ada yang kekal untuk urusan ini. Tapi dasar manusia bebal, mereka masih saja tak percaya bahwa setiap orang punya kekuasaan untuk melakukan apa saja termasuk perkara membunuh. Siapa yang lebih berkuasa untuk menjatuhkan vonis kepada terdakwa, Tuhan atau Bapak Hakim?”
“Saudara Kodir, anda telah benar-benar kelewatan. Ini bukan saatnya untuk berdebat siapa yang lebih berkuasa.”
“Ha.. ha.. ha.. Yang Mulia Bapak Hakim tak dapat menjawab pertanyaan saya atau sedang ragu. Nang.. ning.. nang.. nang.. ning.. ning.. nung. Dengarlah tuan-tuan yang hadir di sini. Saya melakukan pekerjaan biadab itu, kalau itu kalian sebut biadab, dengan tanpa sedikit pun ada keraguan. Yakin haqul yakin. Karena saya yakin apa yang saya lakukan untuk kebajikan. Bukan untuk gagah-gagahan atau mencari ketenaran seperti artis-artis sinetron. Kawin sebentar lalu cerai. Tidak dapat job lalu pindah agama.
Apa yang saya lakukan adalah untuk kemaslahatan ummat manusia di dunia. Bapak Hakim yang mulia, sesungguhnya tak ada korban dalam peristiwa konyol ini. Baik saya maupun istri saya. Kami hanya contoh model hidup yang gagal. Ini satu dari sejuta peristiwa di dunia yang berlangsung dalam hitungan detik di dalam sehari. Untuk apa orang melakukan pembunuhan baik dengan rencana atau tanpa rencana.
Siapa sesungguhnya yang berkehendak dalam keinginan yang membuncah itu? Saya tidak tega jika melihat hidupnya terus menderita. Saya melihat ada sesuatu yang kurang beres menimpa istri saya belakangan ini. Sesuatu itu, entah apa namanya, perlahan-lahan menyusup ke dalam tubuhnya dan mengotori jiwanya yang putih suci. Saya bukan nabi atau utusan Tuhan dalam sebuah usaha penyelamatan nasib manusia. Biarlah. Biarlah mereka merasa kenyang dengan dosa jika hal itu masih mereka percayai.
Secara tegas saya katakan tak ada alasan yang melebihi tindakan dari seseorang yang ingin mencapai kesempurnaan hidup. Apakah saya mencintai istri saya? O, tentu saja bapak Hakim. Saya sangat mencintainya seperti saya mencintai jantung saya. Bunga-bunga di taman
Pendek kata, perempuan cantik adalah perempuan yang memahami kedudukannya dalam segala harmoni. Percayalah, Bapak Hakim bahwa saya telah membunuh istri saya. Jika anda masih tak percaya atas apa yang saya lakukan maka keadilan di dalam ruang ini hanya omong kosong.
“Sudah, sudah! Cukup!” Hakim mengetuk palu berkali-kali.
Saya kira semuanya sudah cukup jelas kendati bapak Hakim terus menguntit saya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol. Bagi saya perempuan itu telah mati. Titik. Mungkin seorang perupa akan menjadikannya sebuah monumen kemanusiaan yang telah tercabik-cabik oleh kepentingan seseorang ataupun kelompok tertentu. Saya tak menyesal telah melakukannya karena bukankah esok hari ia akan menjelma menjadi jutaan perempuan cantik yang selalu ditunggu para lelakinya. Sejarah tak pernah berbohong. Hanya manusia bebal dan dungu saja yang mampu melakukan kebohongan serta dusta yang sempurna. Menghianati setiap kata dan langkah di bawah mata Tuhan. Akhirnya, Tuhan seperti jam dinding yang telah mati. Tergantung di tembok yang muram tanpa ada yang berani menyentuhnya.
Saya menunggu Hakim membaca putusan dengan suara monoton. Tak ada yang menarik. Saya hanya menatap tumpukan lembar-lembar kertas yang menggunung hingga menutupi wajah si Hakim. Lembar-lembar kertas itulah yang telah menutup sisa hidup sebagian manusia di kursi terdakwa. Ia juga mampu membuat wajah dunia terperangah. Bersedih. Tertawa. Bangga. Marah. Sakit secara tiba-tiba. Iba.
“Saudara Kodir, apakah saudara siap mendengar putusan?”
“Hal terindah dalam hidup saya adalah memandang keindahan dari balik jendela. Memandangi rerumputan yang hijau. Semak-semak belukar yang bertahan di musim kemarau. Riuh kecipak kaki anak-anak di dermaga…”
“Sudah. Sudah. Cukup! Ini bukan tempat membaca puisi.” potong Hakim.
Lalu Hakim membaca isi putusan itu.
“Saudara Kodir, mendengar pernyataan anda secara terbuka dan tanpa adanya paksaan sedikit pun dari berbagai pihak. Maka, menimbang bla.. bla.. bla.. Maka, Saudara Kodir dijatuhi vonis hukuman penjara seumur hidup!”
Usai persidangan saya dikembalikan dalam bui. Malam hari, di dalam sel saya termenung seorang diri. Seorang petugas datang memeriksa penghuni sel. Suara orkestra sayup-sayup menggelayuti seluruh pikiran saya. Lalu saya menghisap rokok dan menatap sudut-sudut yang gelap. Sesekali suara tokek terdengar di ujung sel sebelah utara. Malam ini begitu sepi dan rapuh. Saya merasa seperti mahluk pertama yang menginjak kedua kaki di bumi. Tapi kejadian itu hanya sesaat karena saya mendengar langkah-langkah mendekati kamar sel saya.
Lalu seseorang dari mereka mendekat dan berbicara.
“Anda terlalu banyak berpikir, Kodir. Sebaiknya anda beristirahat banyak,” suara lunak dalam keremangan.
Saya menatapnya secara nanar di antara terang dan redupnya cahaya. Ah, Yang Mulia Bapak Hakim rupanya. Ia tidak sendirian melainkan ditemani beberapa orang dan seorang perempuan muda.
“Lihatlah, siapakah orang di samping saya saat ini. Istri anda masih hidup, bukan? Ia sangat ingin bicara kepada anda.”
“Bapak Hakim jangan main-main. Bukankah saya telah melapor pada petugas soal pembunuhan terhadap istri saya. Bagaimana mungkin ia masih hidup?”
“Pandanglah dia baik-baik, Kodir.”
Saya mencoba memandangnya dengan sabar dan teliti. Bapak Hakim tampak sedikit agak tegang tetapi cepat-cepat ia sembunyikan perasaan itu.
“Jika sudah selesai katakan kepada saya siapa dia.”
“Dia hanya seorang perempuan muda yang
Bapak Hakim terus berusaha meyakinkan saya bahwa perempuan itu adalah istri saya.
“Sampeyan tidak membunuh siapa-siapa.”
Perempuan muda itu mulai terisak-isak. Seorang petugas menyalakan senter. Lalu ia sorotkan pada wajah perempuan itu.
“Sekali lagi. Lihat dan cermati baik-baik. Nah, sudah ingat,
Wajah perempuan itu sangat cantik sekali. Ia mengingatkan saya kepada masa lalu yang telah tertinggal jauh. Sangat jauh.
“Bagaimana. Sudah ingat sekarang?”
Bapak Hakim mencoba terus membimbing saya untuk menemukan satu titik cahaya. Saya benar-benar menghargai jasanya. Ia sungguh lelaki tua yang sabar dan penyayang.
“Nggak usah tergesa-gesa. Amati dia baik-baik. Baru setelah itu sebut namanya?”
“Saya tidak bisa bapak Hakim.”
“Kenapa? Ini hanya permulaan tapi setelah dicoba sampeyan akan merasa lebih enak. Lihat matanya. Hidungnya. Bibirnya. Saya yakin anda masih ingat.”
“Benar pak Hakim.”
“Apa? Sampeyan sudah dapat mengingatnya?”
Bapak Hakim tampak girang sekali. Ia mencoba berbicara lebih dekat. Dengan perasaan yang penuh kemenangan ia berbicara secara berbisik-bisik dan tenang.
“Coba sebutkan, tuan Kodir. Siapa namanya?”
“Seorang perempuan muda yang
Bintik-bintik peluh memenuhi seluruh wajah bapak Hakim. Lalu ia berbalik dan memanggil seseorang yang berpakaian putih-putih. Sejenak tampak ia bicara bisik-bisik.
“Saya kira, dia tak pantas ditempatkan di sini.”
“Lantas, jika tidak di sini di mana?”
Bapak Hakim kembali berbisik di telinga petugas itu.
“Rumah Sakit Jiwa!”
Mataram, 2001-2005
BIODATA
R. Eko Wahono, Lahir di Maumere, NTT. Kumpulan Cerpennya Potret Kita ( 2000 ) dan Bibir Perkusi ( 2005 ). Sekarang mukim di Mataram dan mengelola Indonesia Sahaja Cinema.
Imtihan Taufan
Ketukan Pintu di Tengah Malam
INI adalah detik-detik yang aneh. Seseorang akan datang ke rumah dan aku sedang menerka apa yang akan terjadi dengan seluruh perasaan dan keinginan-keinginanku. Aku pernah berpikir, seandainya dia tak ada dalam hidupku. Tapi itu tak mungkin. Dia telah lahir menjadi manusia dan tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya. Mungkin, jika aku ada pada saat dia dilahirkan, aku bisa menghentikan perjalanan hidupnya. Misalnya menjadi seorang bayi yang membunuh bayi yang lain dengan cara kejam... |
SUATU malam, aku pernah bangun dari tidur. Saat itu, aku duduk di beranda dan membayangkan wajahnya. Kadang-kadang sepi bisa melahirkan dendam yang menyenangkan hati. Aku tak bisa berpaling dari kebencian itu. Seluruh tubuh dan wajahnya adalah rangkaian dari seluruh ketidaksenanganku kepadanya. Dia sama sekali tidak membuatku bisa tersenyum setiap kali aku mengenangnya. Aku pernah mengumpulkan semua foto-foto dirinya yang kusimpan dalam album lama. Aku tatap wajahnya di
***
Sepuluh tahun yang lalu, dia adalah kawan. Ketika kami berpisah, aku kehilangan alamatnya.
"Bagaimana kabar anak dan istrimu?" tanyaku saat itu.
Ia tertawa terbahak-bahak.
"Lihatlah diriku, kawan, kini aku adalah seorang anggota parlemen dengan seekor anjing kesayangan. Tidakkah kamu melihatnya?"
Dia begitu gembira menyemburkan kata-katanya. Tubuhnya yang gemuk -- tidak kurus lagi seperti yang selama ini kukenal -- terguncang-guncang seakan hendak meledak. Anjing hitam berbulu lebat dalam gendongannya, menyalak kegirangan. Apa arti semua ini?
"Kenapa?" tanyanya kepadaku.
Aku tak hendak menjawab pertanyaannya. Aku pikir, aku sedang berhadapan dengan seseorang yang menyukai dirinya didengar ketimbang mendengar. Dia tidak menampakkan wajah muramnya. Aku menunggu ia berbicara.
"Aku telah berpisah. Kau tahu, cinta tidak selamanya membuat kami harus bersatu."
"Apakah dia telah meninggalkanmu?"
"Sejauh itu rupanya."
"Ayolah, siapa bisa bertahan jika setiap detik aku menjadi pesakitan yang harus menerima segala tuduhan dan kecurigaan?"
"Yang kutahu, istrimu baik."
"Yang tidak kau tahu, Irin tidak selamanya baik."
"Ya, itu yang tidak kuketahui. Apalagi sejak kita tak pernah bertemu."
"Aku sungguh-sungguh mengatakannya, Rasko."
Aku mengangkat bahu. "Dan sekarang kau sendirian, Timpala."
"Tidak, Rasko. Sekarang aku bersama seekor anjing kesayangan!"
Sejak pertemuan yang tidak mengenakkan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Pada akhirnya aku tahu, kalau ia memang seorang anggota parlemen. Tapi aku tidak rajin membaca
Sesungguhnya aku ingin mengetahui tentang perempuan itu. Ia sangat kukenal. Tak banyak bicara, cenderung sabar dan tak cekatan mengambil tindakan dengan segera. Tapi menurutku ia perempuan baik. Setidaknya selama aku sering menemuinya, Timpala kerap menyindir, ia tak bisa selamanya dengan perempuan seperti itu. Menurutnya, Irin adalah perempuan yang bodoh, lamban dalam berpikir dan segala keputusannya selalu seperti bijaksana. Padahal, kata Timpala, justru sebaliknya.
Aku heran, kenapa laki-laki itu begitu bersemangat meletakkan istrinya di bawah kakinya. Kadang-kadang aku berpikir, Timpala tengah berubah secara perlahan menjadi manusia yang lain. Dan aku tidak menyukai hal seperti itu. Beberapa kali pernah kucoba untuk berdiri di belakangnya sambil membawa sebuah pisau lipat yang siap kuayunkan di udara dan membenamkannya ke punggungnya. Tapi tanganku selalu terhenti di tengah jalan. Entah kenapa, ia tiba-tiba saja menoleh. Aku seperti pencuri yang tertangkap basah dan berusaha keras untuk membuat sebuah adegan yang sangat sempurna -- hanya semata-mata untuk menutupi segala niat dan tindakanku. Betapa bodohnya aku, bukan?
Suatu kali, di hari yang lain, aku mengajaknya berjalan menuju sebuah jembatan gantung di bagian timur
Ketika kudekati tubuhnya, ia menoleh dan tertawa saat itu. Ia seperti bayi yang tak punya dosa. Wajahnya riang dan segala bayangan-bayangan yang gelap tentang dirinya, lenyap seketika. Apa yang telah terjadi dengan dirinya? Apa yang telah terjadi dengan diriku?
Begitulah. Dan di hari yang lain, ia bercerita lagi tentang Irin yang telah menginjak kepalanya di tempat tidur. Di
Aku benar-benar tak percaya. Bisa kubayangkan bagaimana Irin saat itu.
"Sungguh kamu telah melakukan itu?" tanyaku tak percaya.
"Untuk sebuah perubahan, kekerasan sangat diperlukan, Rasko," jawabnya.
"Tapi itu melebihi batas. Kau tidak mungkin selamanya seperti itu. Kau telah melakukan hal yang salah!"
"Ia milikku dan selamanya adalah milikku. Apa sesungguhnya yang ada dalam dirimu sehingga kamu begitu peduli dengan kami?" mata Timpala mendelik.
Aku menggelengkan kepala. Aku pulang. Ketika aku berada di rumah, Irin menemuiku. Pipinya memar dan matanya sembab. Perempuan itu seperti mengadu dan butuh pertolongan. Apa yang bisa kubantu buat perempuan ini? "Tidak ada," jawabnya.
"Tapi kenapa?"
"Tidak ada yang perlu dijawab."
Perempuan
"Kau perlu ke dokter," kataku suatu kali.
Ia tersinggung dan memuntahkan kemarahannya. Aku pegang lehernya saat itu dan berkata kepadanya kalau aku sungguh-sungguh. "Lihatlah," kataku. "Dari hari ke hari, kamu membuat kecemasan-kecemasan dan bisa menggiring kau dan Irin menuju kehancuran!"
Ia tak bergeming. Dan setiap kali aku ke tempatnya, aku selalu memperhatikan bagaimana Irin seperti dicekam rasa takut. Perempuan itu jadi tampak bodoh dan sangat berhati-hati dalam berbicara. Oh, aku tak bisa membayangkan bagaimana ia yang jarang bicara harus berhati-hati pula untuk sekadar berbicara. Kata-katanya pendek dan bunyinya bergetar. Ia merasa bersalah dan terkurung dalam kerangkeng mungil.
Timpala menangkap suasana seperti itu. Ia merasa dipermainkan dan diejek. Lalu ia mencoba mendesak dan memojokkan. Aku pikir, Timpala sudah berlaku tidak adil. Untuk hal-hal yang kecil, laki-laki itu bisa membuatnya menjadi sebuah persoalan yang besar. Dan sebuah persoalan yang besar, bisa ia campakkan di tong sampah. Uh, semestinya ia memang sangat cocok untuk menjadi seorang politikus, pikirku. Dan kita akan menuju ke pintu-pintu kerusakan untuk selama-lamanya.
Api menyembur dari lubang hidungku. Saat itu kemarahanku tak bisa dibendung. Bertubi-tubi pukulan kudaratkan ke wajahnya dan ia terjengkang tidak dalam waktu yang lama. Kulihat Irin muncul dari dapurnya membawa tatapan aneh kepadaku. Ia seperti tak menyangka bahwa apa yang kulakukan sedang terjadi di depan matanya. Sebilah pisau terjatuh dari genggaman tangannya. Ia mungkin berpikir tidak akan sejauh itu. Uh! Aku dalam lingkaran yang tak kumengerti. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini kepadanya?
"Irin, diamlah, akan kujelaskan semua yang terjadi selama ini!" teriakku memohon.
Irin menatapku dengan wajah yang pucat. Tubuhnya berbalik dan lenyap dari balik pintu. Aku tak tahu ke mana ia menghamburkan dirinya. Aku berharap ia bisa kembali. Aku memohon ada malaikat yang turun ke bumi dan menangkapnya. Aku ingin Irin kembali...
Kenyataannya, aku tak ingin Irin kembali. Lelaki itu bangun dengan wajah berlumur darah dan tiba-tiba tertawa sekeras-kerasnya. Ia berlari membawa tubuhnya ke luar dan berteriak-teriak memanggil nama perempuan itu. Baiklah, kataku, aku akan tetap tinggal di sini dan menunggu mereka kembali. Tapi untuk apa? Tapi untuk apa aku menunggu mereka? Aku percaya hidup memang penuh dengan kemarahan dan kadang-kadang kita tak bisa membendungnya. Tapi kemarahan jugalah yang bisa menyeret kita pada sesuatu yang tidak membuat kita jadi senang. Dan besoknya, tiga orang polisi datang ke tempatku dan menggiringku ke kantornya. Di
Aku terkesiap. Tak kusangka, perempuan itu menyimpan namaku selama ini. Apakah ia juga menyimpan cinta buatku? Kadang-kadang aku berpikir, aku tidak sedang mengigau untuk mengenangnya.
"Seseorang jelas telah menyiksanya. Dan nama Anda ada dalam
Aku mengangkat bahu. Aku menarik nafas dalam-dalam. Apakah seorang polisi harus tahu kisah cinta seseorang? Tidak. Kupikir, ini adalah kisah kami berdua. Aku harus jujur kepada diriku dan tidak kepada dirinya.
"Saya hanya teman baiknya, begitu juga dengan suaminya. Saya tidak tahu kalau ia mencintai saya. Yang saya tahu, saya selalu ingin membuat mereka bisa bahagia. Hanya itu."
Interogasi yang melelahkan. Mereka memang tidak mampu membuktikan kalau aku adalah seorang penyiksa. Sejak itu, aku tak pernah bertemu lagi dengan Timpala. Aku mengira, ia lari ke
***
Di luar, malam makin pekat. Timpala akan datang ke tempatku seperti yang telah ia janjikan. Aku ingin tahu, benarkah ia menepati janjinya. Aku sedikit bingung untuk memperkirakan di mana tempat terbaik untuk kami bisa duduk bersama. Ruang tamu bukanlah tempat yang menyenangkan untuk sebuah pembicaraan antara dua orang kawan lama. Aku rasa, aku harus membayangkan tempat yang lain. Tapi di mana?
Untuk seorang politikus yang telah kaya, kupikir dia punya segudang tempat yang dikenalnya. Dan bisa kukira, ia tentu akan menawarkan tempat-tempat itu untukku. Yang kubutuhkan adalah sebuah persiapan kecil. Aku kira, permainan memang belum berakhir. Siapa bisa menebak maksud seseorang yang paling tersembunyi? Aku mesti waspada. Aku tahu, aku sedang merasa akan berhadapan dengan seorang penipu. Aku masih tidak percaya bahwa seseorang seperti dia bisa berubah dan bertambah baik.
Perjalanan belum selesai dan aku menunggu ketukan pintu. Untuk sementara, lemari kubuka dan sebuah benda tajam masih tersimpan di bawah tumpukan pakaian. Aku ingat, benda itu milik Irin yang terjatuh sesaat sebelum ia lari dari rumah. Aku telah menyimpannya untuk waktu yang lama dan sebentar lagi aku berfungsi sebagaimana mestinya. Aku menunggu Timpala di sini. Juga seekor anjing dalam gendongannya itu. Ia akan datang dengan mengetuk pintu dan tak ada seorang pun yang akan menjadi saksi dari pertemuan ini. Di tengah malam yang sepi, rasanya nikmat sekali menjadi calon pembunuh.
Amp, Mei 2004
______________________________
Imtifan Taufan
saya mau beli bukunya pak dimana dijual ?
BalasHapus